(1) Kita Salah Didik sejak TK
KENAPA bangsa kita bisa menjadi begini amburadul? Wismiarti, seorang
ibu yang dokter gigi, punya satu jawaban, yang didapatnya dari koleganya
di Australia: ”Karena orang-orang Indonesia salah didik sejak dari
Taman Kanak-kanak!” Kondisi tersebut diperparah oleh sikap para orangtua
yang semberono di dalam mendidik anak-anak mereka di rumah.
Mengingkari Sunatullah
Anak-anak balita (
golden age) di kota-kota besar di
Indonesia, dibiarkan mengalami ketelantaran cinta dan makna. Para ibu
”modern” — karena alasan kepraktisan dan mengutamakan kerja di luar
rumah — lebih memilih tidak memberikan ASI eksklusif selama enam bulan
pada kehidupan awal sang bayi. Padahal, tindakan itu tak hanya berarti
tidak memberikan pelukan, kenyamanan, kebahagiaan, ketenangan, membantu
penyambungan sel-sel otak anak, membangun kepercayaan anak terhadap ibu;
melainkan juga mengingkari ketentuan Allah (
sunatullah).
Tak cuma itu. Mereka pun lebih percaya untuk menyerahkan pendidikan
anak-anaknya kepada para pengasuh bayi, yang entah seperti apa kualitas
moral, ilmu, cinta dan bahasanya. Padahal, perkembangan otak dan
pertumbuhan akhlak dan jiwa anak-anak balita, sangat bergantung kepada
asupan informasi dan
modelling orang-orang dewasa di
sekitarnya. Justeru pada usia balitalah, anak-anak sangat membutuhkan
peranan aktif dari, terutama, ibunya.
Pada saat itulah, masa depan anak ”ditentukan.” Jika momentum yang luarbiasa penting itu diserahkan kepada
babby sitter,
kita ”tahu” seperti apa isi otak dan masa depan mereka. Anak-anak akan
hidup tanpa cinta, sel-sel otaknya tidak tersambung maksimal, proses
belajarnya tidak sesuai dengan tahapan, kepercayaan dirinya rendah,
mereka akan sulit memahami makna segala sesuatu, dan dunia serta
kehidupan akan dijalaninya secara serampangan, tanpa ada kesadaran akan
tanggungjawab dan misi suci.
Metode Sentra
Maka, setelah mendapatkan jawaban yang fundamental dan menyentak itu,
Wismiarti langsung memutuskan berhenti praktek sebagai dokter gigi.
Pada 1996, ia mendirikan Sekolah Al-Falah, dimulai dari TK, di Ciracas,
Jakarta Timur.
Itu diawali dengan studi banding ke beberapa sekolah TK di Australia,
Eropa, dan Amerika Serikat. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengadopsi
metode BCCT (
Beyond Centers and Circle Time/Lebih Jauh tentang Sentra dan Saat Lingkaran) yang kemudian dikenal sebagai “Metode Sentra.” Metode itu, yang “
play-based learning”
dikembangkan oleh Pamela Phelps Phd di Creative School, Talahasse
Florida, Amerika Serikat, sejak 1970. Adalah Pamela Phelps yang hingga
kini menjadi konsultan Sekolah Al-Falah.
Dengan Metode Sentra, sejak usia dini, anak-anak diajak menjalankan
nilai-nilai mulia sebagaimana yang diajarkan oleh semua agama, seperti
hormat, jujur, sayang teman, rajin, tanggungjawab, disiplin, dan
lain-lain. Nilai-nilai positif itu dialirkan melalui program
sehari-hari, seperti saat makan, main, atau pun menjelang tidur.
Kemampuan klasifikasi dibangun sangat kuat. Klasifikasi pada benda
kongkret (alat permainan edukatif) berdasarkan warna, bentuk, dan
ukuran, diajarkan pada diri anak (seyogianya sejak bayi). Di setiap
Sentra, kemampuan itu terus ditingkatkan, baik saat main maupun saat
membereskan mainan tersebut.
Jika klasifikasi pada hal-hal yang kongkret sudah terbangun, maka
kelak di kala dewasa, mereka akan mampu menglasifikasi hal-hal yang
abstrak. Anak akan mampu membedakan mana yang salah dan mana yang benar.
Kelemahan dalam klasifikasi, kelemahan dalam berpikir kongkret dan juga
berpikir abstrak, itulah yang, antara lain, menyebabkan manusia
Indonesia – sebagamana kita lihat di kalangan eksekutif, legislatif,
yudikatif — tidak memahami apa tugas dan tanggungjawabnya.
Dalam hal membangun disiplin anak, Sekolah Al-Falah menerapkan
“disciplin with love.”
Disiplin dijalankan melalui simulasi langsung, sehingga anak-anak tahu
dan mengerti tentang mengapa dan untuk apa suatu aturan dibuat.
Misalnya, pada saat main balok, anak diberi tahu bahwa balok-balok kayu
aneka bentuk geometris itu fungsinya untuk bermain pembangunan. Jika
balok digunakan untuk hal lain, maka bisa membahayakan diri sendiri
maupun orang lain.
Untuk pelajaran membaca, menulis dan berhitung – yang diselenggarakan
dalam Sentra Persiapan — cara belajarnya sangat berbeda dengan yang
umum berlangsung di Indonesia, yang konvensional. Dalam Sentra,
anak-anak tidak diajari mengeja huruf-huruf A, B, C, atau 1 + 1 = 2.
Melalui Sentra, kemampuan dan keterampilan anak dibangun melalui
main, tanpa tekanan dan paksaan dari guru dan lingkungan. Dengan Sentra,
pengetahuan dan keterampilan (
knowledge) anak diorganisir
secara rapi. Guru menciptakan kondisi dan memberikan kesempatan kepada
anak agar mereka ”menemukan sendiri” pengetahuan keaksaraan dan
kemampuan berhitungnya.
Dilarang Melakukan “Tiga M”
Metode Sentra membuat anak belajar dengan gembira, dan sekolah jadi
menyenangkan. Suasana nyaman dan menyenangkan harus dicapai. Maka, guru
dilarang melakukan ”Tiga M”: menyuruh, melarang, marah/menghukum.
Karena, jika anak dalam kondisi tertekan, kecewa, sedih, atau marah
(emosi negatif), maka ia tidak akan dapat belajar. Berdasarkan
penelitian, otak pusat berpikir manusia tidak akan berfungsi jika emosi
dalam keadaan negatif. Dengan memosisikan anak sebagai subyek dan bukan
obyek, seluruh potensi kecerdasan bisa dibangun, dan anak akan tumbuh
menjadi pribadi penemu, percaya diri, dan bahagia.
Metode Sentra membangun anak pada delapan domain, yaitu afeksi,
estetika, kognisi, psikomotor, bahasa, sosial, pembangunan, dan main
pura-pura (berdasarkan teori Jean Piaget). Juga mengembangkan tujuh
kecerdasan dasar (
multiple Intelligences menurut teori Howard
Gardner). Sebagai sekolah Islam, Wismiarti memperkuatnya dengan
pembangunan 18 Sikap, nilai-nilai yang diambil dari 99 Asmaul Husna,
yang sangat penting dihayati dan dialirkan oleh para guru kepada
anak-anak di setiap Sentra. Dengan semua itu, anak-anak diharapkan
menjadi insan kamil, yang
understanding dan
adaptable.
Ada tujuh sentra yang dikembangkan di Sekolah Al-Falah, yaitu Sentra
Balok, Bahan Alam, Seni, Persiapan, Main Peran Besar, Main Peran Kecil,
dan Imtaq.
Metode Sentra menggunakan kurikulum individual disesuaikan kebutuhan
dan tahap perkembangan anak (Jean Piaget). Sehingga, hal yang pertama
kali harus dibangun adalah kemampuan guru untuk bisa membaca tahap
perkembangan siswa dan memberikan dukungan pembelajaran yang sesuai.
Untuk itu, jumlah siswa di tiap kelas dibatasi maksimum 12 anak.
Hasilnya?Hanya dengan paradigma baru seperti itulah, kita akan bisa
menghasilkan generasi baru (pemimpin) bangsa yang lebih baik dan
berakhlak mulia!
Insya Allah.